at
20:44
A. Pengertian dan Konsep Metode
Harga Pokok Pesanan
Metode harga pokok pesanan adalah
suatu metode pengumpulan biaya produksi untuk menentukan harga pokok produk
pada perusahaan yang menghasilkan produk atas dasar pesanan. Tujuan dari
penggunaan metode harga pokok pesanan adalah untuk menentukan harga pokok
produk dari setiap pesanan baik harga pokok secara keseluruhan dari tiap-tiap
pesanan maupun untuk per satuan.
Dalam metode ini biaya-biaya
produksi dikumpulkan untuk pesanan tertentu dan harga pokok produksi per satuan
dihitung dengan cara membagi total biaya produksi untuk pesanan tersebut dengan
jumlah satuan produk dalam pesanan yang bersangkutan. Pada pengumpulan harga
pokok pesanan dimana biaya yang dikumpulkan untuk setiap pesanan/kontrak/jasa
secara terpisah dan setiap pesanan dapat dipisahkan identitasnya. Atau dalam
pengertian yang lain, penentuan harga pokok pesanan adalah suatu sistem
akuntansi yang menelusuri biaya pada unit individual atau pekerjaan, kontrak
atau tumpukan produk yang spesifik.
B. Karakteristik Biaya Pesanan
-Sifat
produksinya terputus-putus tergantung pada pesanan yang diterima
-Bentuk produk tergantung dari spesifikasi pemesan
-Bentuk produk tergantung dari spesifikasi pemesan
-Pengumpulan
biaya produksi dilakukan pada kartu biaya pesanan, yang memuat rincian untuk
masing-masing pesanan.
-Total biaya
produksi dikalkulasi setelah pesanan selesai
- Biaya
produksi epr unit dihitung, dengan membagi total biaya produksi dengan total
unit yang dipesan.
-Akumulasi
biaya umumnya menggunakan biaya normal
-Produk yang
sudah selesai langsung diserahkan pada pemesan.
C. Kartu Biaya
Pesanan
Kartu biaya
pesanan adalah dokumen dasar dalam penentuan biaya pesanan yang mengakumulasi
biaya-biaya untuk setiap pesanan. Karena biaya diakumulasi setiap batch atau
loy dalam sistem biaya pesanan menunjukkan bahan baku langsung dan tenaga kerja
langsung serta biaya overhead pabrik yang dibebankan untuk suatu pesanan. File
kartu biaya pesanan yang belum selesai dapat berfungsi sebagai buku besar tambahan
untuk persediaan dalam proses
· Syarat
penggunaan Metode Harga Pokok Pesanan:
1. Masing-masing
pesanan, pekerjaan, atau produk dapat dipisahkan identitasnya secara jelas dan
perlu dilakukan penentuan harga pokok pesanan secara individual.
2. Biaya
produksi harus dipisahkan ke dalam dua golongan, yaitu: biaya langsung (BBB
& BTKL) dan biaya tak langsung (selain BBB & BTKL).
3. BBB dan BTKL
dibebankan secara langsung terhadap pesanan yang bersangkutan, sedangkan BOP
dibebankan kpd pesanan atas dasar tarif yang ditentukan di muka.
4. Harga pokok
setiap pesanan ditentukan pada saat pesanan selesai.
Harga pokok per satuan produk dihitung dengan cara membagi jumlah biaya produksi yang dibebankan pada pesanan tertentu dengan jumlah satuan produk dalam pesanan yang bersangkutan.
Harga pokok per satuan produk dihitung dengan cara membagi jumlah biaya produksi yang dibebankan pada pesanan tertentu dengan jumlah satuan produk dalam pesanan yang bersangkutan.
5. Untuk
mengumpulkan biaya produksi tiap pesanan digunakan Kartu Harga Pokok (Job Cost
Sheet), yang merupakan rekening/buku pembantu bagi rekening kontrol Barang
Dalam Proses.
D.
Pengumpulan Biaya Produksi dalam Metode Harga Pokok Pesanan
1) Pencatatan
Biaya Bahan Baku (BBB)
Dibagi dua
prosedur, yaitu:
1.
Prosedur pencatatan pembelian bahan baku.
2.
Prosedur pencatatan pemakaian bahan baku, menggunakan
metode mutasi persediaan (perpetual). Dalam setiap pemakaian bahan baku harus
diketahui pesanan mana yang memerlukannya.
2)
Pencatatan Biaya Tenaga Kerja Langsung (BTKL)
Diperlukan
pengumpulan dua macam jam kerja, yaitu :
1.
Jam kerja total selama periode kerja tertentu.
2.
Jam kerja yang digunakan untuk mengerjakan setiap
pesanan.
Perusahaan
harus menyelenggarakan kartu hadir masing-masing karyawan, untuk mengumpulkan
informasi jam kerja total selama periode kerja tertentu, untuk pembuatan Daftar
Upah. Disamping itu, perusahaan harus mencatat penggunaan jam kerja masing2
karyawan untuk mengerjakan pesanan. (Masing2 karyawan dibuatkan Kartu Jam Kerja
/ Job Time Ticket)
3) Pencatatan Biaya Overhead Pabrik (BOP)
BOP
dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu :
· Biaya Bahan
Penolong
· Biaya
reparasi dan pemeliharaan, berupa pemakaian persediaan spareparts dan
persediaan supplies pabrik
· Biaya tenaga
kerja tak langsung
· Biaya yang
timbul sebagai akibat penilaian terhadap aktiva tetap (contoh: biaya penyusutan
aktiva tetap)ΓΌ
· Biaya yang timbul sebagai akibat berlalunya
waktu (contoh: terpakainya asuransi dibayar di muka)
· Biaya
overhead pabrik lain yang secara langsung memerlukan pengeluaran tunai (contoh:
biaya reparasi mesain pabrik, biaya listrik)
· BOP dalam
metode harga pokok pesanan harus dibebankan kepada setiap pesanan berdasarkan
tarif yang ditentukan di muka.
E. Perbedaan Antara Akuntansi Perusahaan Manufaktur Dan Akuntansi Perusahaan Dagang
Akuntansi
perusahaan manufaktur dan akuntansi perusahaan dagang berbeda dalam hal
rekening-rekening yang disajikan dalam laporan keuangan, yaitu neraca dan
laporan laba-rugi. Disamping itu dalam perusahaan manufaktur harus membuat
laporan biaya produksi. Perbedaan keduanya diuraikan sebagai berikut:
Di dalam
neraca perusahaan dagang, hanya terdapat satu rekening persediaan barang, yaitu
Persediaan barang dagangan, sedangkan rekening persediaan dalam neraca
perusahaan manufaktur meliputi persediaan bahan baku, persediaan bahan
penolong, persediaan barang dalam proses, persediaan barang jadi dan persediaan
suplai perlengkapan pabrik.
Perbedaan dalam laporan laba rugi
Perbedaan dalam laporan laba rugi
Perbedaan
dalam laporan laba-rugi antara perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur
terletak pada perhitungan harga pokok penjualan. Pada perusahaan dagang barang
tersedia untuk dijual diperoleh dengan menjumlahkan persediaan awal dan
pembelian bersih, sedangkan pada perusahaan manufaktur diperoleh dengan
menjumlahkan persediaan awal barang jadi dan harga pokok produksi.
F. Manfaat
Informasi Harga Pokok Produksi Per Pesanan
Dalam
perusahaan yang produksinya berdasarkan pesanan, informasi harga pokok produksi
per pesanan bermanfaat bagi manajemen dalam :
1.Menentukan
harga jual yang akan dibebankan kepada pemesan
2.Mempertimbangkan
penerimaan atau penolakan terhadap pesanan tertentu.
3.Memantau
realisasi biaya produksi.
4.Menghitung
laba atau rugi tiap pesanan
5.Menentukan
harga pokok persediaan barang jadi dan barang dalam proses yang disajikan
dalam neraca.
dalam neraca.
Menentukan
harga jual yang akan dibebankan kepada pemesan
Perusahaan
yang produksinya berdasarkan pesanan memproses produknya berdasarkan
spesifikasi yang ditentukan oleh pemesan. Dengan demikian biaya produksi
pesanan yang satu akan berbeda dengan biaya produksi pesanan yang lain,
tergantung pada spesifikasi yang dikehendaki oleh pemesan. Oleh karena itu
harga jual yang dibebankan kepada pemesan sangat ditentukan oleh besarnya
produksi yang akan dikeluarkan untuk memproduksi pesanan tertentu.
Mempertimbangkan
penerimaan atau penolakan pesanan.
Ada kalanya
harga jual produk yang dipesan oleh pemesan telah terbentuk di pasar, sehingga
keputusan yang perlu dilakukan oleh manajemen adalah menerima atau menolak
pesanan. Untuk memungkinkan pengambilan keputusan tersebut, manajemen
memerlukan informasi total harga pokok pesanan yang akan diterima tersebut.
Informasi total harga pokok pesanan memberikan perlindungan bagi manajemen agar
dalam menerima pesanan perusahaan tidak mengalami kerugian.
Memantau
realisasi biaya produksi
Jika suatu
pesanan telah diputuskan untuk diterima, manajemen memerlukan informasi biaya
produksi yang sesungguhnya dikeluarkan di dalam memenuhi pesanan tertentu. Oleh
karena itu, akuntansi biaya digunakan untuk mengumpulkan informasi biaya
produksi tiap pesanan yang diterima untuk memantau apakah proses produksi untuk
memenuhi tertentu menghasilkan total biaya produksi pesanan sesuai dengan yang
diperhitungkan sebelumnya.
Menghitung
laba atau rugi dalam pesanan
Untuk
mengetahui apakah suatu pesanan menghasilkan laba atau tidak, manajemen
memerlukan informasi biaya produksi yang telah dikeluarkan untuk memproduksi
pesanan tertentu. Informasi laba atau rugi tiap pesanan diperlukan untuk
mengetahui kontribusi tiap pesanan dalam menutup biaya non produksi dan
menghasilkan laba atau rugi. Oleh karena itu, metode harga pokok pesanan oleh
manajemen untuk mengumpulkan informasi biaya produksi sesungguhnya keluarkan
untuk tiap pesanan guna menghasilkan informasi laba atau rugi tiap pesanan.
Menentukan
harga pokok persediaan barang jadi dan batang dalam proses yang disajikan
neraca
Pada saat
perusahaan dituntut untuk membuat pertanggungjawaban keuangan periodik,
manajemen harus menyajikan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba
rugi. Di dalam neraca manajemen harus menyajikan harga pokok persediaan barang
jadi dan harga pokok yang sampai dengan tanggal neraca masih dalam proses.
Untuk tujuan tersebut, manajemen perlu menyelenggarakan pencatatan biaya
produksi untuk setiap pesanan.
Berdasarkan
catatan biaya produksi tiap pesanan tersebut manajemen dapat menentukan biaya
produksi yang melekat pada pesanan yang telah selesai diproduksi, namun pada
tanggal neraca belum diserahkan kepada pemesan. Di samping itu, berdasarkan
catatan itu pula manajemen dapat menentukan harga pokok dari produk yang sampai
dengan tanggal penyajian neraca masih dalam proses pengerjaan.
G. Kartu
Harga Pokok (Job Order Cost Sheet)
Kartu harga
pokok merupakan catatan penting dalam metode harga pokok pesanan, kartu harga
pokok ini berfungsi sebagai rekening pembantu yang digunakan untuk mengumpulkan
biaya produksi tiap pesanan produk. Biaya produksi untuk pengerjaan suatu
pesanan dicatat secara rinci di dalam kartu harga pokok pesanan yang
bersangkutan.
Biaya
produksi dipisahkan menjadi biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak
langsung dalam hubungannya dengan pesanan tersebut. Biaya produksi langsung
dicatat dalam kartu harga pokok pesanan yang bersangkutan secara langsung,
sedangkan biaya produksi tidak langsung dicatat dalam kartu harga pokok
berdasarkan suatu tarif tertentu.
at
20:41
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen “.
Di dalam pembuatan makalah ini, saya berusaha menguraikan
dan menjelaskan tentang perlindungan terhadap konsumen. Dalam kesempatan ini
dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.
Marzuki,SH,M.Hum selaku dosen Aspek Hukum dalam Bisnis. Yang telah
memberikan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata saya menyadari
bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya,
oleh karena itu saya mengharapkan
saran, kritik dan petunjuk dari berbagai pihak untuk pembuatan makalah ini
menjadi lebih baik dikemudian hari.
Semoga makalah yang telah saya buat ini dapat
bermanfaat dan menjadi bahan informasi pada masa yang akan datang, khususnya
bagi Mahasiswa Fakultas
Ekonomi, Jurusan Akuntansi UISU. Terima kasih.
PENDAHULUAN
Masalah perlindungan konsumen semakin
gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu
menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang
dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah
perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku
usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan
bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa
yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan,
maupun penawaran barang secara langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih
produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek
eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari,
konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
Perkembangan perekonomian, perdagangan,
dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang
luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa
yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung
oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang
sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang
dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi.
Permasalahan yang dihadapi
konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih
kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha,
pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.
Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi
barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi,
mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari
bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang
berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen.
Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta
undang-undang tersebut dengan baik.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
yang direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen,
dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang perlindungan
konsumen sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap perbuatan dan
perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan upaya perlindungan konsumen di
indonesia dapat lebih diperhatikan.
Pada penulisan
makalah ini kita akan membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap
konsumen serta apa saja hak dan kewajiban konsumen. Dalam makalah ini saya juga akan menjelaskan tentang prinsip
,asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen yang mungkin akan berguna bagi
pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen),
faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi
adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal
tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen.
Selain kurangnya tingkat kesadaran
konsumen akan hak-hak dan kewajibanya yang terkait dengan tingkat pendidikannya
yang rendah,pemerintah selaku penentu kebijakan,perumus,pelaksana sekaligus
pengawas atas jalanya peraturan yang telah dibuat sepertinya masih kurang
serius dalam menjalankan kewajibannya.
Produsen yang yang mencari keuntungan
pun masih membandel dengan menghalalkan segala cara untuk memaksimalkan laba
yang diperoleh tanpa memperhatikan undang-undang yang berlaku serta keselamatan
konsumennya.
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode
literatur kaji pustaka terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah
yang kami buat dan juga bersumber dari beberapa artikel dari internet.
PEMBAHASAN
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau
sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan
dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai
pemakai barang dan jasa.
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku
di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan
adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa
dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang
dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen
berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret
1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20
tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal
20 april 1999.
- Undang
Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3821
- Undang
Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang
Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
- Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat
Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
- Surat
Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen,
dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa
mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa
konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi
landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping
UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang
juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
·
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
·
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
·
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat.
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90
Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota
Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota
Malang, dan Kota Makassar.
·
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
·
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar,
Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta,
dan Kota Medan.
Berdasarkan
UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang
diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha
tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan
Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang
berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya
telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin
oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan
kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai
dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”.
Kepastian hukum itu meliputi segala
upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku
usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan
berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu,
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai
manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan
dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis
dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas
dapat mengakibatkan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan
menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini
penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada
dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat
kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.
Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi
sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi
kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang
melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha,
tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan
barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu,
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap
memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan
nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan
hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen
adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan
pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan
konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum
yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya
Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang
yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
·
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
·
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966
tentang Hygiene;
·
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
·
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
·
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
·
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
·
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
tentang Ketenagalistrikan;
·
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987
tentang Kamar Dagang dan Industri
·
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
·
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
·
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
·
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
·
Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
·
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
·
Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagai mana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
·
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten;
·
Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989
tentang Merek;
·
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
·
Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
·
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
·
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal
pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak
Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten,
dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar
ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen
di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen
ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai
kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka
kemungkinan terbentuknya undang- undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan
yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini merupakan paying yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan
hukum di bidang perlindungan konsumen.
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bias
memberikan arahan dalam implementasinya di
tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan
tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen.
·
Asas manfaat
Maksud asas ini
adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen
dan pelau usaha secara keseluruhan.
·
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
·
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
·
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Dalam UU
Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan
konsumen adalah sebagai berikut.
·
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
·
Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·
Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi.
·
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen
memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen
sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai
berikut :
·
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
.
·
Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·
Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga
terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini
diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian
jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya
hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala
sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi
konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X,
dan XI).
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal
5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
•
Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•
Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati;
•
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.1 Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah orang yang menyediakan barang atau jasa sebagai pemuas
kebutuhan bagi konsumen. Karena pelaku usaha adalah orang yang berhubungan
secara langsung terhadap konsumen, maka pemerintah menetapkan aturan untuk
pelaku usaha, diantaranya adalah hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal
yang dilarang untuk dilakukan sebagai seorang pelaku usaha karena dapat
menimbulkan dampak yang buruk kepada konsumen.
Hak-hak pelaku usaha adalah :
- Hak untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak untuk mendapat perlindungan
hukum dari tindakan yang beritikad tidak baik.
- Hak untuk melakukan pembelaan
diri di dalam penyelesaian hukum sengketa.
- Hak untuk rehabilitasi nama
baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
- Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya.
- Memberikan informasi yang
benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
- Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
- Menjamin mutu barang atau jasa
yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang atau jasa yang berlaku.
- Memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta member
jaminan atau garansi atas barang yang dibuat atau yang diperdagangkan.
- Memberi kompensasi, ganti rugi
atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, pemanfaatan
barang atau jasa yang diperdagangkan.
- Member kompensasi, ganti rugi
atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
6.2 Perbuatan Yang Dilarang
Bagi Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah orang yang berhubungan langsung dengan konsumen, maka
dari itu pemerintah mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha dalam UU perlindungan konsumen. Berikut ini adalah
perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang memproduksi
atau memperdagangkan barang atau jasa yang :
1.
Tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan peruundang-undangan.
2.
Tidak sesuai
dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaiman yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
3.
Tidak sesuai
dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya.
4.
Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan bbarang atau jasa tersebut.
5.
Tidak sesuai
dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
atau jasa tersebut.
6.
Tiidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang atauu jasa tersebut.
7.
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu.
8.
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana mestinya pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label.
9.
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat atau isi bersih(netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
10. Tidak mencantumkan informasi atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan satu barang atau jasa secara tidak benar, dan atau
seolah olah :
1.
Barang
tersebuut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu.
2.
Barang
tersebut dalam keadaan baik atau baru.
3.
Barang atau
jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori
tertentu.
4.
Barang atau
jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan,
afiliasi.
5.
Barang atau
jasa tersebut tersedia.
6.
Barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
7.
Barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8.
Barang
tersebut berasal dari daerah tertentu.
9.
Secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
10.
Menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
11.
Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
12.
Barang atau
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
13.
Pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran terhadapa ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran,
promosi, dan pengiklanan barang atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromoosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan menggenai :
- Harga atau tarif barang atau jasa.
- Penggunaan suatu barang atau jasa.
- Kondisi, tanggunagn, jaminan, hak atau ganti rugi
atas suatu barang atau jasa.
- Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan.
- Bahaya penggunaan barang atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang
dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan
konsumen dengan :
- Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah
telah memenuhi standar mutu tertentu.
- Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah
tidak mengandung cacat tersembunyi.
- Tidak berniat untuk menjual barang yang
ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang yang lain.
- Tidak menyediakan barang dengan juumlah tertentu
atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
- Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu
atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjial jasa yang lain.
- Menaikan harga atau tarif barang atau jasa
sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu
barang atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
- Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau jasa dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain secara
cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan sebagaimana
yang dijanjikannya.
- Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usah dalam menawarkan barang
atau jasa yang ditujuka untuk diperdagangkan memberikan hadiah melalui cara
undian, dilarang untuk :
- Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu yang dijanjikan.
- Mengumumkan khasilnyya tidak melalui media massa.
- Memberikan hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.
- Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai
hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemakdaan cara lain yang dapat
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
- Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu
penyelesaian sesuai dengan yang diijanjikan.
- Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau
prestasi.
Pasal 17
Pelaku periklanan dilarang
memproduksi iklan yang :
1. Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau tarif jasa serta
ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.
2. Mengelabui jaminan atau garansi
terhadap barang atau jasa.
3. Memuat informasi yang keliru,salah,atau
tidak tepat mengenai barang atau jasa.
4. Tidak memuat informasi mengenai
resiko pemakaian barang atau jasa.
5.
Mengeksploitasi
kejadian atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan.
6.
Melanggar
etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
7.
Pelaku usaha
periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan
pada ayat (1).
7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pasal 19
- Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian konsumen
akibat mengkonsuumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1 ) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang atau
jasa sejenis setara ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau jasa yang
sejenis atau setara ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
- Pergantian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
- Pemberian ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan kesalahan.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
8. Sanksi-Sanksi Jika Produsen
Merugikan Konsumen
Sanksi bagi pelaku usaha menurt UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Sanksi perdata ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang
- Penggantian uang
- Perawatan kesehatan
- Pemberian santunan ganti rugi
diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
- Sanksi administrasi ganti rugi
dalam bentuk :
Maksimal Rp. 200.000.000, melalui
BPSK jika melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), 20,25 sanksi pidana, kurungan :
- Penjara 5 tahun denda Rp.
2.000.000.000, pasal 8,9,10,13 ayat (2),15,17 ayat (1) huruf a, b, c, dan denda
pasal 182.
- Penjara 2 tahun denda Rp.
5.000.000.000, pasal 11,12,13,ayat (1),14,16,17 ayat (1) huruf d dan f
ketentuan piidana lain (diluar UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen)
- Jika konsumen luka berat, cacat
berat, sakit berat, atau kematian dikenakan 11 hukuman tambahan antara
lain :
- Pengumuman keputusan hakim
- Pencabutan izin usaha
- Dilarang memperdagangkan barang
dan jasa
- Wajib menarik dari peredaran
barang atau jasa.
- Hasil pengawasan
diisebarluaskan kepada masyarakat.
9. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu
prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng
ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori
bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada
konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada
munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk
mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan
kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen
diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
·
Pihak tergugat
merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan
tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
·
Produsen tidak
melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar
yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
·
Konsumen
penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian
pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam prinsip
tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
a.
Tanggung Jawab
atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu
tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan
kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan
jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan
hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.
Teori tanggung jawab produk berdasarkan kelalaian tidak memberikan
perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua
kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu: pertama, tuntutan adanya
hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai
tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh
kerusakan barang yang tidak diketahui.
b.
Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian
Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian
adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk
beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan
kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian
kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena
pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu
produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
c.
Kelalaian
Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa
pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan
substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap
ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi
sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
d.
Prinsip Paduga
Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan-keringanan
bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun
prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini
merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.
9.2. Prinsip Tanggung Jawab
Berdasarkan
Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian
produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan
atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi
adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan
mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian
atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan.
Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan
kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan
pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya.
Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi
janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani
tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung
jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi
bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
·
Pembatasan
waktu gugatan.
·
Persyaratan
pemberitahuan.
·
Kemungkinan
adanya bantahan.
·
Persyaratan
hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
9.3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini,
produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas
penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian,
ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum
pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan
klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan
diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa
dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi
tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak
produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak
diterapkan dalam hukum tentang Product liability adalah :
·
Diantara
korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian
seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
·
Dengan
menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin
bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti
tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
lll.KESIMPULAN
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban
serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan
kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan
yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta
pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang
perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang
terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para
produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang
dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk
memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang
diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi
yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat
dibutuhkan agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin
memperoleh laba tanpa membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan
maksimum.
Sebenarnya menurut pendapat saya ada langkah-langkah yang
dapat dilakukan pemerintah untuk melindungi hak-hak konsumen, yaitu:
1. Menetapkan undang-undang yang tegas
dan jelas. Pemerintah memang sudah memeiliki atau membuat beberapa
undang-undang yang membahas masalah yang sama sebelumnya. Namun hingga saat ini
undang-undang tersebut belum berjalan dengan efektif. Maka, sebaiknya
pemerintah kembali memperbaruhi atau merevisi uundang-undag tersebut.
2. Menetapkan sanksi yang tegas atas
pelanggaran terhadap UU. Selama ini pun pemerintah sudah membuat sanksi atas
pelanggaran terhadap UU mengenai undang-undang terhadap perlindungan konsumen
namun hingga saat ini sanksi tersebut belum diterapkan secara nyata dan tegas
sehingga belum mampu menyebabkan efek jera pada setiap pelanggar UU tersebut.
3. Mengawasi secara langsung dalam
proses produksi sebuah produk yang akan diproduksi dalam kemasan banyak
dikonsumsi oleh masyarakat secara umum. Oleh karena ituada baiknya selain
pemerintah pembuat UU,dan sanksi terhadap pelanggarnya, pemerintah pun
melakukan pengawasan secara langsung. Hal ini akan diharapkan akan mengurangi
kemungkinan sebuah perusahaan melakukan kecurangan dalam produksi.
lV.PENUTUP
Semoga makalah yang saya buat ini dapat memberi penjelasan dan dapat mengingatkan
para pembaca bahwa kita sebagai konsumen memiliki hak-hak serta kewajiban yang
harus kita laksanakan, dan kita juga memiliki perlindungan penuh atas hukum dan
UU yang berlaku yang bisa digunakan kapan saja ketika diri kita pendapat perlakuakuan yang tidak sesuai dengan apa-apa
yang telah ditetapkan bagi konsumen.
Semoga makalah yang kami
buat ini bermanfaat bagi para mahasiswa/mahasiswi, dan bisa dijadikan referensi
dalam melakukan kajian-kajian ilmiah tentang hukum perlindungan konsumen.
DAFTAR
PUSTAKA
Subscribe to:
Posts (Atom)